Ketua Umum Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Sumiran menegaskan, berbagai kampanye negatif terhadap tembakau terutama kretek memiliki tujuan agar Indonesia tidak mandiri secara ekonomi dan politik.
Harusnya, kelompok anti tembakau juga melihat survei seperti Ernt and Young teranyar yang menyebut harga rokok di Indonesia juga sudah tinggi dengan kontribusi cukai sangat besar. Survei digunakan dengan meracik data dari AC Nielsen, Euromonitor, juga laporan keuangan perusahaan terbuka. Hasilnya. survei mencatat, di Indonesia total pajak rokok terhadap harga jual sudah mencapai 53,4%. Sementara Malaysia mencapai 46%, China 44,4%, dan Vietnam 41,6%. Paling tinggi di Thailand 73,1%.
Survey Ernest Young menyatakan sudah clear bahwa harga rokok di Indonesia sudah cukup tinggi dengan kontribusi cukai sangat besar, itu obyektif dan faktual, tegasnya, belum lama ini
Herannya, survei seperti itu selalu saja diabaikan. Maka, tak heran, jika dicermati, kata Ismanu, saat ini mulai terjadi anti tessa atas kampanye anti tembakau, mulai ada Pemda yang mengijinkan kembali iklan rokok. Sebab kampanye anti tembakau itu provokatif dan memaksa.
Mungkin mata hati dan mata jasmani mereka sudah tertutup, karena target akhir kampanye anti tembakau adalah aksesi FCTC, tandasnya.
Padahal, ketika Indonesia aksesi FCTC, maka pemerintah akan langsung terikat kewajiban yakni tidak boleh membuat peraturan tembakau sendiri. Dengan demikian hukum negara tidak diakui. Negara wajib membayar iuran ke Otoritas FCTC yang tidak jelas bentuknya dan dikhwatirkan hanya diisi kalangan LSM. Tak hanya itu saja, dengan aksesi FCTC akan membuka akses ke IHT dari perkebunan hingga pabrik. Klasul pasal dan ayat aturannya terus semakin bertambah mematikan, tegas Ismanu.
Ismanu mengingatkan, mereka yang anti tembakau seharusnya tidak berpikir dan bertindak memaksakan diri seperti meminta agar para penjual rokok eceran dihilangkan. Pasalnya, Indonesia menghasilkan budaya yang beraneka ragam. Termasuk budaya jual-beli terhadap barang maupun jasa. Budaya tidak membutuhkan legalitas.
Budaya lahir dari defacto. Budaya jual-beli itu ada di bagian aktivitas siklus dan sirkulasi perekonomian Nusantara. Negara yang bermartabat adalah Negara yg menghargai budayanya, imbuh Ismanu.
Kata Ismanu, hal itu berbeda dengan negara Kapitalis apalagi liberal yang berupaya mengkapitalisasi semua obyek barang,jasa dan unsur budaya, dengan kedigdayaan petro dollar. Selanjutnya, berupaya dengan segala cara mengangkat semua harga komoditi, termasuk rokok.
Pada akhir beragam kampanye itu, Indonesia diharapkan tidak berjaya tetap menjadi negara yang terjebak utang dan tidak boleh mandiri di bidang ekonomi.
Maka ketika kretek berjaya, mereka berdalih demi kesehatan beralasan dramatisir sakit karena merokok, kemudian menggunakan gerakan anti tembakau menganggu stabilitas perekonomian kretek dengan cara mengenjot setingi-tinginya cukai tegas Ismanu.
Padahal, kata Ismanu, budaya IHT di Indonesia, ada banyak strata. Kalau pabrik besar naik harga, yang menengah siap mengisi dan yang kecil dibawahnya mengisi diatasnya. Jadi, cara menaikan cukai hanya cocok di luar negeri yang tidak punya kretek.
Ia menilai, kampanye anti tembakau sudah tidak obyektif. Selalu menggunakan kacamata kuda. Egois, angkuh, menutup diri, merasa benar; maka ujungnya ekstrem. Padahal kebenaran akan membuka jalannya sendiri.
Permintaan harga rokok harus naik lagi bukti gerakan anti tembakau tidak berjiwa nasionalis. Kalau gerakan anti tembakau nasionalis, maka seharusnya juga mau diajak duduk bersama dengan instansi terkait bermusyawarah untuk mufakat agar setiap aturan selalu sesuai dengan kepentingan negara.
Tapi gerakan anti tembakau selalu menolak undangan seperti ini. Terus maunya apa? sindir Ismanu.
Sumber: kretek.co
0 komentar:
Post a Comment